Advertisement

Pemanfaatan EBT Bukan Hal yang Mustahil, Ini Alasannya

Abdul Hamied Razak
Jum'at, 27 Juli 2018 - 23:17 WIB
Kusnul Isti Qomah
Pemanfaatan EBT Bukan Hal yang Mustahil, Ini Alasannya Ilustrasi energi baru terbarukan. (Istimewa - Info Migas)

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA-Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) merupakan penentu tercapainya kedaulatan energi di Indonesia. Dalam Nawacita, sektor energi turut menjadi prioritas pemerintah.

Praktisi bisnis pembangkit listrik, Projo Handoko mengatakan, ada alasan kenapa kedaulatan energi menjadi keharusan. Menurutnya, pemenuhan energi dari dalam negeri jelas mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil seperti minyak dan batubara.

Advertisement

"Dengan memanfaatkan EBT yang berasal dari air, mikro hidro, angin [bayu], tenaga surya, gelombang laut, dan panas bumi, maka Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya," katanya melalui rilis yang diterima Harianjogja.com, Jumat (27/7/2018).

Oleh karena itu, kata Handoko, paradigma pengelolaan energi nasional harus berubah. Dari semula energi sebagai komoditas ke energi sebagai penggerak roda ekonomi. Sayangnya, kendala terbesar dari pengembangan EBT adalah mahalnya teknologi yang banyak diimpor dari luar.

"Solusinya penguasaan teknologi juga harus mendapatkan prioritas agar Indonesia tidak tergantung pada teknologi luar negeri," usulnya.

Dia menjelaskan, saat ini lebih dari 70% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan minyak bumi dan batubara. Hal itu terjadi karena produksi batubara dalam negeri sangat melimpah. Itulah mengapa PLTU Batubara (Coal Fired Power Plant/ CFPP) menjadi kontributor terbesar dalam konfigurasi pembangkit listrik.

"Dalam jangka pendek, PLTU Batubara bisa menjadi solusi penyediaan energi listrik yang terjangkau dari sisi harga," katanya.

Sayangnya, keberadaan batubara dan minyak bumi semakin berkurang. Belum lagi volatilitas harga minyak dunia yang sangat dinamis dan selalu berkait dengan harga komoditas batubara.

"Kondisi itu bisa mengerek harga jual listrik. Bayangkan saja bila tiba-tiba harga minyak dunia melaju sampai $100 per barrel, pasti biaya produksi listrik akan meningkat tajam,” paparnya.

Hal berbeda jika Indonesia mengandalkan penggunaan listrik yang pembangkitnya digerakkan oleh tenaga angin, air, atau juga tenaga matahari dan panas bumi. Menurut Handoko, Indonesia cukup lama menguasai teknologi untuk pembangkit tenaga air, baik PLTA maupun PLTMH (pembangkit listrik tenaga minihidro). Juga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/ Geothermal.

Sungai-sungai di Indonesia, katanya, menyimpan potensi energi yang sangat besar, sekitar 75 GW. Begitu juga posisi Indonesia yang berada di tempat bertemunya sejumlah gunung berapi yang masih aktif (ring of fire) di wilayah Asia Pasifik.

"Ini bisa menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi geothermal terbesar kedua setelah Amerika Serikat, dengan potensi lebih dari 28 GW. Namun, sampai saat ini pemanfaatannya masih sangat kecil," ujarnya.

Menurut Handoko, harga jual listrik via PLTU Batubara memang paling murah. Saat ini PLN bisa membeli dengan harga $5 cent/kWh dari Independent Power Producer (IPP). Meski begitu, katanya, harga batubara fluktuatif dan juga tidak ramah lingkungan.

Di sisi lain, pembangunan PLTA dinilai mahal karena porsi pekerjaan sipil (civil work) yang besar. Seperti pengerjaan bendungan dan penstock (pipa pesat) hingga lokasinya yang sulit diakses. "Keuntungannya, energi primernya bisa diperoleh secara gratis. Bisa dibangun beberapa pembangkit dalam satu aliran sungai dalam jarak yang berdekatan dengan memanfaatkan perbedaan elevasi,” kata Handoko.

Selama ini, banyak masalah yang harus dihadapi para investor untuk membangun pembangkit listrik. Mulai dari pengurusan perizinan, pembebasan lahan, atau juga isu sosial yang melibatkan masyarakat sekitar. "Pemerintahan Jokowi membuat berbagai terobosan untuk mengatasi masalah tersebut. Mulai pemangkasan birokrasi perizinan hingga kebijakan pro investasi," ujarnya.

Menyinggung soal biaya investasi (Capital Expenditure), pembangkit listrik EBT masih lebih mahal dari pembangkit energi fosil. PLTP (geothermal) bisa menelan investasi sekitar $4 juta/MW, jauh lebih mahal dibanding PLTU Batubara yang hanya $1,5 juta–$2 juta/MW. "Perbedaan Capex ini disebabkan masing-masing komoditi ini berbeda cara memperolehnya, dan juga tingkat kesulitannya," ujarnya.

Dia menyontohkan, listrik yang berasal dari PLTP, fase eksplorasi sumber energi memakan biaya sangat besar. Harus memakai teknologi tinggi dan mahal, ditambah lagi dengan success rate yang rendah. "Ketika investor mengeksplorasi sebuah lapangan geothermal dan melakukan pengeboran, tingkat keberhasilannya tak lebih dari 20%,” kata Handoko.

Demikian juga investasi yang dibutuhkan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS/ Solar Cell) sangat besar. Sebab untuk pembangunan PLTS dibutuhkan investasi sekitar Rp28 miliar. Komponen terbesarnya adalah pada biaya produksi panel surya dan baterai. Selain itu, PLTS juga membutuhkan area yang sangat luas dan hanya dapat beroperasi di siang hari. Untuk mengimbanginya, diperlukan juga dukungan dari pembangkit listrik dari energi fosil.

“Tapi saya yakin, akselerasi pemanfaatan Solar Cell semakin masif, seiring dengan semakin majunya teknologi panel surya dan baterai,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Golkar Bantul Buka Pendaftaran Bursa Pilkada 22-24 April 2024

Bantul
| Jum'at, 19 April 2024, 19:57 WIB

Advertisement

alt

Pengunjung Kopi Klotok Membeludak Saat Libur Lebaran, Antrean Mengular sampai 20 Meter

Wisata
| Minggu, 14 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement